Ustadz Agus Salim Menyalakan Cahaya Islam dari Pulau Kabetan
NAMANYA Agus Salim, dai mengabdi yang bertugas di Sulawesi Tengah. Agus pejuang dakwah yang memilih jalan sunyi dan penuh tantangan di daerah pelosok.
Bersama sang istri, Dewi Sartika Tarigan, dan tiga anaknya, Ustadz Agus Salim bukan hanya tinggal di perbatasan peradaban, tetapi membangun kembali peradaban itu dari dasar, melalui Rumah Qur’an.
Sebelum mengemban tugas di pulau terpencil, Ustadz Salim mengajar di Pondok Pesantren Hidayatullah Singga, Tolitoli. Namun pada tahun 2023, ia menerima amanah baru, yaitu pindah ke rumah wakaf di Ginunggung, Kecamatan Galang.
Dari sinilah babak baru dakwah dimulai, kala seorang pewakaf mempercayakan sebidang tanah di Desa Kabetan, Kecamatan Ogodeide, Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah, sebuah pulau yang cukup terpencil, 2 jam perjalanan ketinting dari kota Tolitoli.
“Alhamdulillah, pewakaf ingin agar tanahnya di pulau ada Rumah Quran di sana,” tutur Agus.
Wakaf tersebut kemudian diresmikan dengan dokumen resmi melalui Pesantren Hidayatullah Singga. Tanpa menunggu lama, Ustadz Salim langsung menjalankan tugas dengan bekal SK dari DPD Hidayatullah Tolitoli.
Awalnya, ia harus merintis sendiri. Tanpa rumah, tanpa fasilitas, dan tanpa keluarga, karena belum ada tempat tinggal yang layak di pulau itu.
Ia secara aktif bersilaturrahim dan menyampaikan semua hajatnya kepada aparat desa, tokoh masyarakat ternnasuk kepala desa setempat hingga akhirnya mendapat sambutan luar biasa untuk mendidik anak-anak di sana.
“Waktu itu kami masih mengajar anak-anak di masjid, karena belum ada rumah, hanya menyiapkan tenda di atas tanah wakaf,” kenangnya.
Namun semangat tak surut. Berkat bantuan warga, sebuah rumah sederhana ukuran 3×4 meter berhasil dibangun dari sisa kayu. Rumah itu menjadi awal hadirnya keluarga Ustadz Salim di Pulau Kabetan.
Kebutuhan akan Rumah Qur’an semakin mendesak seiring bertambahnya jumlah santri. Ia pun berinisiatif menggalang bantuan melalui media sosial.
“Alhamdulillah, dari donatur, ada yang menyumbang seng, kayu, paku, dan juga uang yang kami pakai untuk pengadaan kerangka rumah,” ujarnya.
Kini, Rumah Qur’an telah berdiri meski hanya berupa bangun sekedarnya. Ia mengajarkan Al-Qur’an menggunakan metode Grand MBA, dengan sambutan hangat dari masyarakat.
Di pulau ini, masyarakat masih sangat awam tentang Islam. “Ada yang belajar ilmu tarekat sendiri, ada yang percaya mistik, dan ada juga muallaf yang belum mendapat bimbingan,” ungkapnya.
Sebanyak dua kepala keluarga muallaf kini ia bina. Dari total sekitar 200 kepala keluarga di Pulau Kabetan, sudah ada anak-anak yang dikirim ke pesantren Hidayatullah di Balikpapan dan Singga. Sekitar 15 kepala keluarga rutin dibina, 13 anak muda aktif belajar agama, dan mayoritas warga adalah nelayan serta petani kelapa dan pisang.
Harapan mereka sederhana namun mulia: “Adanya Rumah Quran dan mereka ingin belajar dan mendalami ilmu agama.” Namun kebutuhan dasar tetap mendesak, terutama fasilitas WC. “Umumnya masyarakat berak di semak-semak karena belum ada jamban,” tambah Ustadz Salim.
Transportasi juga menjadi kendala. Perjalanan dari kota ke pulau memakan waktu dua jam dengan perahu biasa, atau satu jam menggunakan speedboat. Jika ada ombak besar, waktu tempuh bisa lebih lama dan berisiko.
Meski demikian, semangat tak pernah surut. Ustadz Agus Salim membuktikan bahwa perjuangan menegakkan cahaya Islam bisa dimulai dari tenda darurat, rumah papan sederhana, hingga membina ratusan keluarga di tengah keterbatasan. Di tangannya, pulau yang nyaris terlupakan kini bersinar dengan lantunan ayat-ayat suci.
Melihat kondisi tersebut, Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai) tengah mengupayakan dukungan logistik berupa armada kapal dakwah yang dapat membantu mobilitas Ustadz Agus Salim dan keluarga dalam menjalankan tugas di pulau-pulau sekitar Tolitoli.
Armada ini bukan sekadar alat transportasi, tetapi jembatan harapan agar syiar Islam menjangkau lebih luas tanpa terhalang oleh gelombang.
Perjuangan Ustadz Agus Salim mengirimkan pelajaran tentang keteguhan, cinta keluarga, dan harapan umat. Dari tenda darurat hingga Rumah Qur’an, dari ketinting sederhana hingga cita-cita kapal dakwah—ia membuktikan bahwa secercah cahaya bisa menjadi lentera peradaban bagi masyarakat yang haus akan ilmu dan hidayah.