Pengakuan Negara dan Peran Dai sebagai Informal Leader
Oleh Abdul Muin*
SETIAP tanggal 20 Februari sebagaimana kita hari ini, Indonesia memperingati Hari Pekerja Indonesia (Harpekindo) sebagai bentuk penghargaan terhadap kontribusi para pekerja yang menjadi tulang punggung pembangunan bangsa.
Dalam arus perbincangan tentang tenaga kerja, acap kali perhatian publik lebih tertuju pada pekerja formal di sektor industri, manufaktur, dan jasa.
Namun, ada kelompok pekerja yang keberadaannya sering kali luput dari perhatian: para dai, yang berkiprah sebagai pemimpin informal dan pendidik spiritual masyarakat di pelosok negeri.
Dai bukan sekadar penyampai dakwah di atas mimbar, tetapi juga agen perubahan sosial yang berperan dalam membentuk moralitas umat.
Mereka bekerja tanpa pamrih di sudut-sudut negeri yang sunyi, tempat di mana akses pendidikan masih terbatas dan tingkat literasi rendah.
Dalam menjalankan tugasnya, mereka bukan hanya memberikan pencerahan spiritual, tetapi juga berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di tengah pengabdian mereka yang mulia, nasib para dai masih jauh dari kata sejahtera.
Pemimpin Informal dan Pendidik Umat
Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dai memiliki posisi yang sangat strategis sebagai pemimpin informal. Mereka bukan hanya menjadi panutan dalam aspek keagamaan, tetapi juga sebagai mediator sosial yang meredam konflik dan membangun harmoni di tengah keberagaman.
Peran mereka dalam membimbing masyarakat, memberikan edukasi moral, serta menjaga stabilitas sosial tidak bisa diremehkan.
Di berbagai pelosok negeri, dai berjuang menghadirkan cahaya ilmu di tengah keterbatasan fasilitas dan infrastruktur. Mereka menjadi penggerak utama dalam penyebaran nilai-nilai kebaikan, mengajarkan literasi dasar, serta memberikan bimbingan akhlak bagi generasi muda.
Dalam banyak kasus, dai juga menjadi figur yang mampu menggerakkan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, baik dari aspek sosial maupun ekonomi.
Namun ironisnya, perjuangan mereka sering kali tidak mendapat apresiasi yang layak. Banyak dai yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, jauh dari kesejahteraan yang semestinya mereka terima.
Mereka mengabdikan hidup untuk umat, tetapi negara belum sepenuhnya memberikan perhatian yang memadai terhadap kesejahteraan mereka.
Jika tenaga pendidik formal mendapatkan pengakuan dalam bentuk gaji dan tunjangan, maka dai, yang juga menjalankan fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa, justru masih sering terabaikan.
Bagi banyak dai yang bertugas di daerah terpencil, tantangan yang mereka hadapi bukan sekadar minimnya fasilitas, tetapi juga ketidakpastian ekonomi yang menghantui kehidupan mereka.
Tidak sedikit di antara mereka yang hidup dengan penghasilan yang tidak menentu, mengandalkan donasi dari masyarakat setempat yang juga sering kali berada dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Kondisi ini mencerminkan ketimpangan perhatian negara terhadap sektor pendidikan informal. Padahal, kontribusi dai dalam membentuk karakter bangsa tidak bisa dianggap remeh.
Dalam banyak kasus, kehadiran dai menjadi benteng moral bagi masyarakat yang rentan terpapar berbagai pengaruh negatif, seperti radikalisme, penyalahgunaan narkoba, dan dekadensi moral.
Oleh karena itu, seharusnya ada skema dukungan yang lebih konkret dari pemerintah dalam memastikan keberlangsungan peran mereka.
Urgensi Keterlibatan Pemerintah Kuatkan Peran Dai
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa semua elemen yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa mendapatkan perhatian yang layak, termasuk para dai.
Sebagai pendidik umat dan penjaga stabilitas bangsa, dai seharusnya mendapatkan perlakuan yang setara dengan tenaga pendidik formal lainnya.
Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memperkuat peran dai dalam masyarakat. Pertama, pemerintah dapat menyediakan program kesejahteraan bagi para dai, baik dalam bentuk insentif finansial, jaminan kesehatan, maupun akses terhadap pendidikan lanjutan.
Kedua, ada kebutuhan untuk merancang kebijakan yang memungkinkan dai mendapatkan pelatihan dan pengembangan kapasitas, sehingga mereka bisa lebih efektif dalam menjalankan tugasnya.
Ketiga, pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi keagamaan dalam mendukung dai melalui skema beasiswa, bantuan operasional, serta infrastruktur yang lebih baik di daerah-daerah terpencil.
Dengan langkah-langkah konkret ini, kita bisa memastikan bahwa dai tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga semakin berdaya dalam menjalankan misinya. Sebab, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tugas tenaga pendidik formal, tetapi juga mereka yang bekerja di garis depan dalam membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik.
Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan bangsa yang beradab dan berkemajuan, maka sudah saatnya para dai mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam kebijakan pembangunan nasional.
*) Abdul Muin, penulis Direktur Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai)