Di Tengah Krisis Air, Dakwah Ustadz Mansur Arifin Tetap Berkobar di Pedalaman Manggarai Barat
Lembor, sebuah kecamatan di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikenal sebagai salah satu lumbung pangan di wilayah Flore...
Lembor, sebuah kecamatan di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikenal sebagai salah satu lumbung pangan di wilayah Flores. Kawasan ini memiliki hamparan persawahan luas dengan sistem irigasi pemerintah yang menopang kehidupan ribuan kepala keluarga.
Namun, di balik kesuburan tanahnya, Lembor menyimpan paradoks: melimpahnya air justru tidak menjamin tersedianya air bersih. Air yang mengalir ke sawah dapat saja mengandung residu pupuk dan pestisida, sehingga berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang menggunakannya untuk mandi, mencuci, hingga berwudhu.
Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat pedalaman, termasuk Desa Siru, tempat seorang tokoh muda lahir dan mengabdikan hidupnya untuk dakwah, pendidikan, dan pembinaan umat. Dialah Ustadz Mansur Arifin.
Lahir dan Mengabdi di Tanah Sendiri
Ustadz Mansur Arifin adalah putra asli Siru, Kecamatan Lembor. Sejak menamatkan pendidikannya pada 2013, ia memilih kembali ke kampung halaman untuk mengabdi sebagai dai.
Bersama sang istri, Siti Rahmawati, dan dua anak mereka, ia menjalani kehidupan sederhana di tengah tantangan keterbatasan sarana dan prasarana.
"Sejak selesai kuliah, saya bertekad tidak pergi ke kota besar. Dakwah harus dimulai dari kampung sendiri, di tempat orang tua kita berjuang," ungkapnya.
Komitmen itu ia wujudkan dalam berbagai kegiatan dakwah, seperti mengajar tahsinut tilawah bagi anak-anak dan orang tua, serta membina anak yatim agar memiliki semangat belajar agama.
Baginya, mengajar membaca Al-Qur’an bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga penguatan identitas umat Islam di tengah masyarakat yang masih terbatas pemahaman agamanya.
Dakwah di Tengah Keterbatasan
Meski Desa Siru mayoritas penduduknya Muslim, wilayah sekitar Lembor menunjukkan wajah pluralitas. Hanya sekitar 25 persen dari total penduduk kecamatan yang beragama Islam, selebihnya adalah non-Muslim. Harmoni antarumat beragama tetap terjaga, namun posisi minoritas di desa tetangga menjadikan dakwah Islam penuh tantangan.
Ustadz Mansur tidak hanya berhadapan dengan persoalan keterbatasan pemahaman agama, tetapi juga tantangan medan dakwah. Jalan rusak, listrik terbatas, serta krisis air bersih membuat pergerakannya kerap terhambat. Namun, ia tidak menyerah.
"Kalau harus berjalan jauh ke kampung-kampung tanpa kendaraan, saya tetap jalan kaki. Dakwah ini amanah, bukan pilihan," tegasnya.
Kesulitan semakin terasa ketika pemerintah menghentikan aliran air irigasi. Dalam kondisi itu, sekitar 2.400 kepala keluarga terpaksa berjalan dua kilometer menuju sungai besar hanya untuk mendapatkan air. Situasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam.
"Kami sangat berharap ada solusi untuk air bersih. Masyarakat tidak bisa selamanya bergantung pada air sawah yang tercemar," ujarnya.
Potret Sosial Ekonomi Masyarakat Lembor
Lembor dan desa-desa di sekitarnya pada umumnya bergantung pada sektor pertanian, baik sawah maupun ladang. Panen hanya terjadi sekali dalam setahun, sehingga pendapatan masyarakat relatif terbatas.
Sebagian besar penduduk hanya menamatkan pendidikan dasar, dan banyak keluarga belum mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang lebih tinggi.
Kondisi ini berimbas pada regenerasi pendidikan agama maupun umum. Menurut Ustadz Mansur, salah satu tantangan dakwah terbesar adalah membangkitkan kesadaran pentingnya ilmu di tengah keterbatasan ekonomi.
"Masyarakat sering berkata, untuk makan saja susah, apalagi menyekolahkan anak. Di sinilah peran dakwah harus hadir, bukan hanya bicara akhlak, tetapi juga memberi motivasi agar mereka tidak berhenti berharap," jelasnya.
Meski demikian, budaya harmonis tetap menjadi ciri khas masyarakat Lembor. Hubungan antarwarga, baik Muslim maupun non-Muslim, terjalin dengan baik. Nilai gotong royong masih kuat, terutama saat musim tanam dan panen tiba.
Dakwah sebagai Jalan Pengabdian
Bagi Ustadz Mansur, dakwah adalah bentuk pengabdian untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat. Ia sadar, persoalan air, listrik, jalan, dan pendidikan adalah bagian dari dakwah itu sendiri. Menghadapi situasi tersebut, ia berusaha menanamkan semangat kesabaran dan kerja keras kepada jamaahnya.
"Kesulitan ini jangan membuat kita putus asa. Justru harus menjadi pemicu agar umat Islam di Lembor semakin kuat dan mandiri," katanya.
Pengabdian Ustadz Mansur juga tercermin dari perhatiannya kepada anak-anak yatim. Ia sering menekankan pentingnya memberi kasih sayang dan bimbingan agar mereka tidak kehilangan arah hidup. Baginya, mencetak generasi Qur’ani adalah fondasi utama untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di masa depan.
Lembor dan Harapan Masa Depan
Lembor adalah cerminan wajah NTT yang kaya sumber daya alam, namun masih terbelenggu oleh keterbatasan infrastruktur dan akses dasar. Daerah ini menyimpan potensi besar dalam pertanian, tetapi ironisnya masih menghadapi krisis air bersih.
Keberadaan tokoh lokal seperti Ustadz Mansur Arifin menjadi penting, sebab ia tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menjadi penggerak sosial yang menghidupkan harapan masyarakat.
Perjuangan Ustadz Mansur mengingatkan bahwa dakwah di pedalaman adalah upaya membumikan nilai agama dalam realitas hidup yang serba terbatas. Ia berdiri di garis depan, mengabdi di tanah kelahiran, dan menjadi saksi perjuangan warganya dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.
"Kalau bukan kita yang lahir di sini, siapa lagi yang peduli? Saya ingin masyarakat Siru dan Lembor tahu bahwa Islam mengajarkan keteguhan hati, meski di tengah kesulitan," pungkasnya.
