Memulihkan Peran Kepemimpinan Ayah dalam Dakwah Rumah Tangga
KETAHANAN keluarga tidak dapat dipisahkan dari keteguhan figur ayah. Di tengah perubahan sosial, kehadiran ayah sebagai pemimpin spiritual,...
KETAHANAN keluarga tidak dapat dipisahkan dari keteguhan figur ayah. Di tengah perubahan sosial, kehadiran ayah sebagai pemimpin spiritual, emosional, dan ekonomi menghadapi tantangan yang tidak ringan. Padahal Islam menempatkan ayah pada posisi strategis dalam pendidikan iman dan akhlak anak.
Al Qur'an dengan sangat ciamik menggambarkan hubungan dialogis antara ayah dan anak, bukan otoritarian, tetapi kepemimpinan berbasis hikmah.
Allah memuji teladan Nabi Ibrahim AS dalam memimpin keluarga: فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada anaknya, Wahai anakku…” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Dalam tafsir Ibn Asyur, dialog Ibrahim menunjukkan bahwa kepemimpinan keluarga adalah proses memandu dengan cinta dan keteladanan.
Perubahan struktur ekonomi menyebabkan banyak ayah terasing dari keluarga. Jam kerja panjang, tekanan ekonomi, dan tuntutan produktivitas membuat interaksi ayah-anak semakin berkurang.
Ketidakhadiran emosional ayah menjadi salah satu faktor rapuhnya ketahanan keluarga. Anak kehilangan figur identitas, ibu memikul beban ganda, dan konflik rumah tangga mudah meledak.
Rasulullah SAW menunjukkan model maskulinitas lembut. Beliau menyapu rumah, memperbaiki sandal, memijat istrinya yang sakit, sekaligus menjadi pemimpin yang dihormati. Hadis riwayat Ahmad menjelaskan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Hadis ini menghubungkan kualitas kepemimpinan dengan kualitas akhlak domestik.
Ayah adalah penjaga visi keluarga. Ia bertanggung jawab memastikan keluarganya berjalan dalam orientasi iman. QS. Luqman: 13–19 memberi contoh lengkap nasihat seorang ayah kepada anak: tauhid, adab sosial, kesabaran, dan integritas. Ini adalah kurikulum ketahanan keluarga. Namun banyak ayah kini kehilangan kapasitas memberi bimbingan demikian karena kurangnya literasi agama dan keluarga.
Di sinilah peran dakwah dan lembaga seperti PosDai menjadi krusial. Para da’i tidak hanya mendampingi masyarakat dalam ibadah, tetapi juga dalam membangun figur ayah beradab. Dakwah keluarga harus menjadi agenda strategis pembangunan bangsa. Keluarga yang dipimpin ayah saleh dan bertanggung jawab akan menghasilkan generasi yang siap bersaing secara moral maupun intelektual.
Ketahanan keluarga dalam teori pembangunan manusia mengaitkan peran ayah dengan modal sosial. Ayah yang hadir menciptakan stabilitas psikologis, meningkatkan ketangkasan anak mengelola konflik, dan memperkuat solidaritas. Sebaliknya, absennya ayah meningkatkan risiko perilaku menyimpang, kekerasan, hingga kegagalan akademik.
Konteks Indonesia sebagai negara dengan sejarah budaya gotong royong menuntut peran ayah bukan sebagai penguasa rumah, tetapi sebagai penggerak harmoni. Ayah yang memimpin doa, memulai percakapan, mengajak musyawarah, dan membangun tradisi ibadah bersama adalah figur pembangunan sosial mikro. Dari rumah-rumah inilah lahir masyarakat yang beradab.
















