Menanam Iman di Lahan Negeri, Dakwah dan Kedaulatan Pangan
ISU pangan kembali mencuat pada akhir 2025 setelah Badan Pangan Nasional (Bapanas) merilis data bahwa stok beras menurun signifikan akibat ...
ISU pangan kembali mencuat pada akhir 2025 setelah Badan Pangan Nasional (Bapanas) merilis data bahwa stok beras menurun signifikan akibat dampak El Niño dan penurunan luas tanam di beberapa provinsi.
Produksi beras nasional 2025 diperkirakan menurun 5,4% dibanding 2024. Indonesia pun masih mengimpor sekitar 2,2 juta ton beras hingga Oktober 2025 (data BPS dan Bapanas). Fenomena ini menunjukkan ketergantungan pangan yang perlu diantisipasi dengan strategi jangka panjang.
Dalam Islam, pangan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi simbol keberkahan dan keadilan. Allah SWT berfirman:
كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗۗ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ
“Makanlah dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya, negeri yang baik (baldatun thayyibatun) dan Tuhan yang Maha Pengampun.” (QS. Saba’ [34]: 15)
Ayat ini menyinggung keseimbangan antara ketaatan kepada Allah SWT dan kemakmuran material. Negeri yang thayyibah adalah negeri yang beriman dan mandiri termasuk dalam hal pangan. Ketika umat Islam bergantung pada impor, mereka kehilangan sebagian izzah (kemandirian) yang seharusnya menjadi ciri ummah kuat.
Krisis pangan tidak hanya akibat cuaca, tetapi juga lemahnya tata kelola dan kesadaran produksi lokal. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), alih fungsi lahan pertanian mencapai 90 ribu hektare per tahun. Jika tren ini berlanjut, ketahanan pangan akan semakin rapuh. Pembangunan pertanian berkeadilan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga dakwah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu hasilnya dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan nilai spiritual dari produksi pangan bahwa menanam adalah ibadah. Maka, dakwah pertanian bukan sekadar ajakan bertani, tetapi gerakan menumbuhkan kesadaran bahwa kemandirian pangan adalah bagian dari keimanan dan pembangunan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, sektor pertanian masih menyerap lebih dari 27% tenaga kerja nasional (BPS, 2025), tetapi kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 12,3%. Ini menandakan adanya kesenjangan produktivitas dan akses teknologi.
Oleh karena itu, dakwah pembangunan bisa berperan dengan mendampingi petani melalui literasi keuangan syariah, koperasi tani Islam, dan penguatan moral produksi.
Dakwah kedaulatan pangan juga sejalan dengan konsep maqasid syariah, bahwa, menjaga jiwa (hifz an-nafs) dan menjaga harta (hifz al-mal) adalah tujuan turunnya agama agung ini. Ketika pangan aman, bangsa berdaulat. Ketika pangan bergantung, maka pembangunan mudah terguncang.
Kemandirian pangan adalah bagian dari iman kolektif bangsa. Mari dukung PosDai dalam memperluas dakwah ekonomi dan pertanian agar dai menjadi pelopor kesadaran menanam, bekerja, dan bersyukur. Dengan kontribusi materi dan non-materi, kita menanam bukan hanya padi, tapi harapan bagi masa depan bangsa.
















