Sampah dan Amanah yang Terlupakan, Dakwah Hijau di Tengah Krisis Lingkungan
INDONESIA menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume ...
INDONESIA menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah nasional pada 2024 mencapai 35,5 juta ton per tahun, dan baru sekitar 65% yang berhasil terkelola. Sementara sisanya mencemari tanah, air, dan udara.
Di DKI Jakarta saja, TPA Bantar Gebang menampung lebih dari 7.500 ton sampah per hari, mendekati kapasitas kritis. Situasi ini menuntut kebijakan berkelanjutan, tetapi juga kesadaran moral warga.
Islam telah lama menanamkan kesadaran ekologis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا و
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 56)
Ayat ini menjadi dasar ekoteologi Islam bahwa manusia bukan pemilik absolut bumi, melainkan khalifah (pengelola) yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan. Pembangunan tanpa etika ekologis hanyalah proyek sementara yang meninggalkan kehancuran.
Dalam konteks keindonesiaan, pembangunan sering dipahami sebagai perluasan ekonomi, padahal tanpa tata kelola lingkungan, pertumbuhan menjadi paradoks. Indonesia menempati peringkat kelima dunia sebagai penghasil sampah plastik terbesar di laut (data Jambeck et al., 2021). Ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi spiritual yang mesti menyentuh aspek krisis kesadaran terhadap amanah bumi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh cabang… yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)
Menjaga kebersihan lingkungan termasuk cabang iman. Sampah yang berserakan adalah tanda lemahnya kepedulian moral publik. Maka, dakwah lingkungan harus menjadi bagian integral dari pembangunan untuk menyadarkan bahwa kebersihan bukan sekadar estetika, tetapi ibadah sosial.
Program “Indonesia Bersih 2025” yang diamanatkan pemerintah dalam Jakstranas (Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah) menargetkan pengurangan sampah hingga 30% dan pengelolaan hingga 70%. Namun, capaian ini membutuhkan dukungan perilaku masyarakat. Di sinilah peran dai dan lembaga dakwah untuk membangun budaya thaharah (kesucian) dalam skala sosial.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam Islam menekankan prinsip maslahah mursalah atau kemanfaatan umum. Islam menolak eksploitasi yang merusak generasi mendatang. Para dai dapat menanamkan kesadaran ekologis di masjid, pesantren, dan majelis taklim melalui praktik nyata seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan ekonomi sirkular berbasis komunitas.
Sekali lagi dan ini perlu ditegaskan bahwa sampah bukan sekadar residu material, tetapi cermin spiritual masyarakat. Mari dukung PosDai dalam dakwah lingkungan agar dai menjadi pelopor kesadaran ekologis, menanam nilai iman dalam tindakan menjaga bumi, dan membangun Indonesia yang bersih lahir batin.
















