Amanah Dakwah Tidak Pernah Selesai, Gerak Tak Henti Sampai Mati
SEORANG pendakwah atau dai yang baik kadang seperti penganyam tikar. Ia memegang benang demi benang yang tampak sepele, rapuh, bahkan tak seberapa nilainya. Dari benang-benang itu, ia membangun anyaman yang dapat menghangatkan rumah, menjadi alas duduk, atau tempat shalat.
Bahan dakwah, pada hakikatnya, adalah manusia dengan seluruh kelemahan dan kekuatannya. Mereka seperti helai serat pandan yang belum diolah: kasar, kadang penuh duri, warnanya tidak seragam. Namun dalam tangan yang sabar, serat itu dihaluskan, direndam, dijemur, lalu dianyam hingga menjadi sesuatu yang berguna dan indah.
Serat, seperti manusia, tidak pernah sepenuhnya tetap. Ia mengembang bila lembap, mengerut bila kering. Begitu pula hati: ia melebar ketika gembira, menyempit ketika sedih. Dai yang memahami ini tak akan memaksakan satu pola untuk semua orang. Ia akan mengikuti lekuk, mengatur ketegangan, agar anyaman tetap kuat tanpa memutus benang.
Dakwah, dalam pengertian ini, bukanlah pekerjaan memahat batu menjadi patung yang kaku. Ia lebih mirip menganyam, di mana bentuk akhir selalu bisa berubah, disesuaikan dengan kebutuhan dan zaman. Tidak seperti rajutan yang terikat mati pada jarum dan pola, anyaman dapat diurai sebagian lalu dianyam ulang, tanpa merusak keseluruhan.
اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِالْØِÙƒْÙ…َØ©ِ ÙˆَالْÙ…َÙˆْعِظَØ©ِ الْØَسَÙ†َØ©ِ ÙˆَجَادِÙ„ْÙ‡ُÙ…ْ بِالَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØْسَÙ†ُۗ اِÙ†َّ رَبَّÙƒَ Ù‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِÙ…َÙ†ْ ضَÙ„َّ عَÙ†ْ سَبِÙŠْÙ„ِÙ‡ٖ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ اَعْÙ„َÙ…ُ بِالْÙ…ُÙ‡ْتَدِÙŠْÙ†َ
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. [QS. An-Nahl/16:125]
Rekaman ingatan kita diputar setiap kali melihat perjalanan dakwah di pedalaman, di gunung gunung yang jauh, di tepian tepian sungai, dan suku terasing. Ada masjid yang dulu hanya papan sederhana, kini menjadi bangunan megah. Ada jamaah yang dulu malu-malu datang, kini jadi penggerak utama.
Tapi, ada juga yang dulu semangat, kini menghilang entah ke mana. Dakwah itu seperti tikar yang terus-menerus ditambal, diganti benang yang putus, atau ditambah motif baru.
Manusia memerlukan simbol, perayaan, dan kenangan. Pengajian akbar, tabligh, dan peringatan hari besar sering menjadi “motif” yang memberi keindahan pada anyaman kehidupan beragama. Tapi kita pun perlu waspada: terlalu sering motif dijadikan pusat perhatian hingga lupa pada fungsi tikar itu sendiri. Dakwah bisa terjebak pada bentuk yang indah namun rapuh, karena benangnya tidak lagi terikat pada kebutuhan nyata umat.
Dakwah yang Membangun
Di balik setiap majelis ilmu yang khidmat, ada kerja yang tak terlihat: orang yang memanggil jamaah, tetua kampung yang menyeru, dermawan yang mendukung penuh sungguh, dan juga gerak langkah para dai yang jarang tersorot kamera. Kerja mencerdaskan kehidupan bangsa ini jarang disebut, apalagi dipuji. Namun seperti serat tersembunyi di bawah motif tikar, merekalah yang membuat kehidupan di pelosok negeri terus berdenyut.
Proses ini jarang rapi. Ada kesalahpahaman, ada perbedaan pendapat, bahkan ada luka hati. Tetapi, justru di situlah dakwah menemukan daya tahannya: ia tidak membentuk “patung kebenaran” yang sekali jadi untuk selamanya, melainkan terus bergerak dan membentuk ulang diri.
Buya Hamka telah mengingatkan kita bahwa dakwah itu memperbaharui masyarakat, bukan membuat masarakat baru. Dakwah tu mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan. Dakwah itu pandai memikat, bukan mahir mengumpat. Dakwah itu menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan.
"Dakwah itu mencerdaskan, bukan membodohkan. Dakwah itu menawarkan solusi, bukan mengumbar janji. Dakwah itu berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan berlomba saling menjatuhkan. Dakwah itu menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat," demikian pesan Buya Hamka yang mencetuskan 43 nilai yang memandu gerakan dakwah kita.
Dalam bahasa kita, kata “dakwah” bisa berarti “mengajak” tetapi juga “seruan”. Mengajak adalah tindakan yang berproses, kadang diterima, kadang ditolak, namun tetap berjalan. Seruan, di sisi lain, bisa berhenti di udara, bergema atau hilang begitu saja. Maka, dakwah yang hidup adalah yang selalu mengajak, bukan hanya sekali berseru.
Mungkin kita pernah mendengar keluhan getir, “Kapan orang-orang ini sadar sendiri?” Kalau kita memahami dakwah sebagai laku, pertanyaan itu mungkin tak muncul. Sebab sadar itu tidak sekali jadi; ia tumbuh, layu, dan tumbuh lagi. Setiap kali kita mengajak, kita sedang menambah satu helai benang pada tikar yang kita anyam bersama.
Itu sebabnya, kita perlu membayangkan anyaman itu tak pernah selesai. Dalam bentuknya yang sekarang, ia sudah berguna; namun ia juga bisa diperluas, diperindah, diperkuat. Kita bisa membayangkan, di ujung perjalanan, tikar itu membentang luas, cukup untuk menaungi siapa saja yang datang mencari teduh.