Jangan Cukup Menjadi Muslim, Buktikan dengan Amal
KADANG kita merasa cukup dengan identitas kita sebagai seorang Muslim. Namun, Al-Qur’an mengingatkan bahwa iman bukan sekadar klaim, melain...
KADANG kita merasa cukup dengan identitas kita sebagai seorang Muslim. Namun, Al-Qur’an mengingatkan bahwa iman bukan sekadar klaim, melainkan harus dibuktikan dengan amal nyata.
Surat Al-Baqarah ayat 94–95 merekam bagaimana kaum Yahudi dahulu mengaku bahwa surga hanyalah milik mereka. Allah menantang klaim itu: “Jika benar, harapkanlah kematian kalian, jika kalian memang orang-orang yang jujur.” Tetapi mereka tidak berani, sebab sadar betul betapa berat dosa yang telah mereka lakukan.
Pelajaran ini bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita. Jangan sampai kita hanya bangga dengan status sebagai Muslim, namun kosong dalam amal.
Karena, orang yang yakin pada janji Allah tidak akan takut pada kematian, sebab kematian hanyalah gerbang menuju perjumpaan dengan Rabb-nya. Sebaliknya, orang yang banyak berdosa akan gentar menatap akhirat.
Allah mengingatkan bahwa iman sejati bukan pada lisan atau garis keturunan, melainkan pada amal dan keikhlasan. Jangan terjebak pada klaim: “Saya pasti masuk surga, sebab saya Muslim.” Surga hanya diberikan kepada mereka yang beriman dan beramal shalih.
Namun kita pun sadar, semangat beramal sering naik-turun. Dalam istilah para ulama, itu disebut futur. Bahkan para sahabat Rasulullah ﷺ mengalaminya.
Hanzhalah pernah mengira dirinya munafik karena imannya terasa menurun ketika jauh dari Nabi ﷺ. Tetapi Rasulullah menenangkan: “Iman itu ada saatnya naik, ada saatnya turun. Sā‘atan wa sā‘atan.”
Kondisi futur adalah manusiawi, tetapi yang penting adalah bagaimana kita kembali bangkit setelahnya. Ibnul Qayyim menggambarkan hati seperti seekor burung. Kepalanya adalah cinta kepada Allah, sementara kedua sayapnya adalah rasa takut dan harap. Selama kepala dan sayap itu kuat, burung bisa terbang tinggi. Tetapi jika salah satunya lemah, ia mudah jatuh.
Karena itu, para ulama memberi panduan, bahwa, ketika sehat, perkuatlah sayap takut. Agar tidak mudah terlena dengan dunia, agar kita terdorong untuk beramal. Tetapi menjelang ajal, perkuatlah sayap harap, agar hati tidak putus asa dari rahmat Allah.
Rasa takut mencegah kita meremehkan dosa. Rasa harap mencegah kita kehilangan harapan. Keduanya harus seimbang agar hati tetap hidup.
Kalau kita sering merasa malas ibadah, itu pertanda hati terluka oleh dosa, terbiasa lalai, atau kurang cinta kepada Allah. Maka kuncinya ada pada taubat yang terus-menerus, membangun kebiasaan kecil yang konsisten, memperbanyak doa, dan mencari lingkungan yang mendukung.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” Doa ini sederhana, tetapi menyala sebagai bahan bakar ruhani.
Akhirnya, ayat ini mengajarkan kepada kita agar jangan merasa cukup hanya dengan identitas. Islam bukan sekadar nama, melainkan jalan perjuangan, ibadah, dan pengorbanan. Surga bukan warisan, melainkan hadiah bagi hamba yang setia menapaki jalan Allah.
Maka, mari buktikan keislaman kita dengan amal nyata. Jika hari ini semangat turun, bangkitlah kembali. Karena Allah tidak menilai seberapa sering kita jatuh, tetapi seberapa ikhlas kita untuk kembali mendekat kepada-Nya.
