Ustadz Sulaiman Sandre dan Cahaya Dakwah dari Pedalaman Kepulauan Namrole
Namrole, sebuah kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, tidak hanya menyimpan panorama laut yang...
Namrole, sebuah kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, tidak hanya menyimpan panorama laut yang biru dan bukit-bukit hijau yang memagari perkampungan.
Di balik itu, daerah ini juga menyimpan tantangan besar, yaitu akses pendidikan yang terbatas, ketimpangan pembangunan, dan kebutuhan spiritual masyarakat yang masih sangat luas.
Di ruang seperti inilah hadir sosok Ustadz Sulaiman Sandre, seorang dai sekaligus pendidik yang mengabdikan dirinya untuk membina masyarakat, merintis dakwah, dan menegakkan pendidikan Islam melalui Hidayatullah.
Sulaiman tidak datang ke Namrole untuk mencari kenyamanan. Ia datang dengan misi menghadirkan cahaya ilmu dan iman di tengah keterbatasan.
“Insya Allah, kampus Hidayatullah di Namrole akan menjadi pusat dakwah dan pendidikan, tempat lahirnya generasi baru yang siap memajukan Maluku dari dalam,” ujarnya suatu sore saat berbincang dengan media ini.
Namrole dan Dinamika Pedalaman Maluku
Dalam kajian akademik, Namrole dapat dipandang sebagai representasi daerah pedalaman kepulauan di Indonesia Timur. Wilayah ini relatif jauh dari pusat-pusat urban, dengan jarak transportasi laut dan udara yang tidak mudah dijangkau.
Infrastruktur dasar, baik pendidikan maupun kesehatan, masih menghadapi keterbatasan. Tingkat literasi dan partisipasi pendidikan formal belum seimbang dengan daerah perkotaan di Maluku.
Bagi masyarakat Namrole, agama bukan sekadar ajaran, melainkan identitas kolektif yang mengikat solidaritas sosial. Kehadiran lembaga dakwah dan pendidikan Islam bukan hanya mengisi ruang spiritual, tetapi juga berperan sebagai instrumen pembangunan sosial.
Hal ini sesuai dengan teori integrasi sosial Émile Durkheim, di mana agama berfungsi mengikat masyarakat dan membentuk moralitas kolektif.
Dengan kata lain, kehadiran kampus Hidayatullah di Namrole bukan hanya urusan pendidikan agama, tetapi juga proses institusionalisasi nilai-nilai sosial yang memberi arah bagi masyarakat setempat.
Perjalanan dan Pengabdian Sulaiman
Sejak awal, Sulaiman menyadari bahwa membina masyarakat di pedalaman bukan perkara mudah. Ia harus menyesuaikan diri dengan kultur lokal, menghadapi keterbatasan sumber daya, dan menanamkan nilai-nilai Islam secara gradual.
Namun, di balik semua itu ia menemukan semangat baru. “Masyarakat di sini haus akan ilmu dan bimbingan. Tugas kami adalah mendampingi mereka agar tidak merasa tertinggal, agar mereka yakin bahwa mereka juga bagian dari Indonesia yang maju,” tuturnya.
Merintis kampus Hidayatullah Namrole adalah langkah besar. Kampus ini diharapkan menjadi pusat pembelajaran formal sekaligus basis kaderisasi dai lokal.
Dengan konsep integrasi dakwah dan tarbiyah, kampus ini berusaha menggabungkan pengajaran agama dengan keterampilan hidup yang relevan dengan kondisi masyarakat pesisir dan pedalaman.
Seperti pesantren yang berakar pada tradisi Islam Nusantara, kampus ini berdiri sebagai ruang belajar yang hidup, menanamkan nilai-nilai wasathiyah (moderat) dan semangat kebersamaan.
Dakwah yang Membumi
Sulaiman tidak membatasi dakwahnya di ruang kelas atau mimbar masjid. Ia terjun langsung ke masyarakat, mendampingi nelayan, petani, hingga anak-anak yang berjuang mengenyam pendidikan dasar. Pendekatan seperti ini mengingatkan pada teori pendidikan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan, yakni pendidikan yang lahir dari dialog dengan realitas masyarakat, bukan sekadar transfer pengetahuan.
“Kami ingin masyarakat Namrole melihat pendidikan sebagai jalan keluar, bukan beban. Belajar itu bagian dari ibadah, dan dakwah itu menyentuh kehidupan sehari-hari,” ucap Sulaiman penuh keyakinan.
Bagi Sulaiman, dakwah bukan sekadar menyampaikan ceramah, melainkan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya ia menghubungkan dakwah dengan aspek produktif, misalnya mengajarkan manajemen ekonomi keluarga sederhana, mendampingi warga mengelola hasil kebun, atau mengajak anak-anak mencintai Al-Qur’an sembari belajar membaca.
Tantangan dan Harapan
Tidak dipungkiri, tantangan terbesar di Namrole adalah keterbatasan fasilitas. Jalan yang belum merata, sarana pendidikan yang sederhana, dan keterbatasan tenaga pengajar menjadi masalah sehari-hari.
Namun, Sulaiman tidak patah semangat. Ia percaya, setiap keterbatasan justru mendidik masyarakat untuk menemukan kemandirian. “Kalau kita ikhlas, insya Allah selalu ada jalan. Mungkin pelan, tapi pasti. Yang penting jangan berhenti,” katanya menegaskan.
Dia selalu meneguhkan harapannya bahwa kampus Hidayatullah Namrole yang ia rintis kelak menjadi simpul yang menghubungkan masyarakat dengan masa depan. Dari kampus itu lahir kader-kader yang siap menjadi dai, guru, pemimpin lokal, sekaligus penggerak pembangunan. Dengan demikian, dakwah bukan lagi sesuatu yang dipandang asing, melainkan kebutuhan yang dirasakan nyata oleh masyarakat.
Kehadiran seorang dai di pedalaman tidak hanya memberi warna religius, tetapi juga menghadirkan energi sosial baru. Dalam perspektif pembangunan, ia sedang melakukan apa yang disebut sebagai capacity building—menguatkan kapasitas masyarakat agar mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Lebih jauh, kampus Hidayatullah Namrole bisa dilihat sebagai social capital institution, sebuah lembaga yang memperkuat modal sosial masyarakat berupa kepercayaan, jaringan, dan norma.
Dengan modal sosial ini, masyarakat Namrole dapat lebih mudah mengakses sumber daya, memperkuat solidaritas, dan mempercepat pembangunan.
Membangun Manusia Seutuhnya
Kiprah pengabdian Sulaiman Sandre mengirimkan pesan pada semua bahwa dakwah di pedalaman bukan hanya tentang mengajarkan ayat dan hadis, melainkan membangun manusia seutuhnya.
Ia memilih Namrole, sebuah wilayah di ujung timur Indonesia, untuk menyalakan obor kecil yang kelak akan menjadi cahaya besar. Ia tidak menunggu fasilitas sempurna, tidak juga menanti dukungan penuh dari luar. Ia bergerak dari apa yang ada, dengan keyakinan bahwa Allah akan memudahkan jalan mereka yang ikhlas.
Masyarakat Namrole kini mulai melihat secercah harapan. Dengan hadirnya kampus Hidayatullah, mereka tidak hanya mendapat bimbingan spiritual, tetapi juga akses pada pendidikan dan pengembangan diri.
Sulaiman membuktikan bahwa pedalaman adalah pusat potensi yang jika digarap dengan serius bisa melahirkan peradaban baru.
“Doa dan harapan kami semoga pengabdian ini dapat berkontribusi dalam menyiapkan generasi yang beriman, berilmu, dan bermanfaat. Dari Namrole, untuk Maluku, untuk Indonesia,” kata Sulaiman menutup perbincangan dengan senyum penuh harapan.[]
