Hikmah Bencana Alam Sumatera dan Makna Dakwah Pembangunan
Bencana alam yang kembali melanda Sumatera pada akhir November dan awal Desember 2025 ini menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah negeri ya...
Bencana alam yang kembali melanda Sumatera pada akhir November dan awal Desember 2025 ini menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas garis-garis ketidakpastian geologi.
Namun di balik getirnya kehilangan, ada hikmah besar yang perlu direnungkan, terutama terkait bagaimana umat menghadapi cobaan dengan kesadaran rohani, sosial, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam Islam, bencana bukan sekadar peristiwa tektonik yang merusak infrastruktur dan merenggut nyawa, tetapi juga panggilan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam yang dititipkan.
Setiap bencana memperlihatkan bahwa pembangunan tidak dapat berdiri tanpa nilai-nilai kebajikan. Infrastruktur yang kuat harus diiringi karakter masyarakat yang peduli, gotong-royong, serta kepemimpinan moral yang mampu menggerakkan solidaritas.
Dalam pada itu, para dai memiliki peran unik sebagai penjaga kesadaran publik. Mereka bukan hanya pemancar siraman rohani, tetapi juga agen pembangunan sosial, penguat mental masyarakat, dan penggerak pemulihan komunitas terdampak.
Ketika rumah hancur dan fasilitas publik lumpuh, yang pertama kali menggeliat bukan hanya operator alat berat, tetapi juga suara-suara pengingat bahwa manusia tidak boleh tenggelam dalam keputusasaan.
Dakwah yang hadir di tengah bencana menjadi energi pemulihan. Ia memberi ruang bagi korban untuk menangisi kehilangan, namun sekaligus menuntun mereka berdiri kembali dengan keteguhan iman dan harapan masa depan. Tanpa dimensi spiritual, pemulihan pasca bencana sering kali berjalan dingin, mekanis, dan kehilangan sentuhan yang menenangkan.
Bencana juga membuka ruang refleksi bahwa keadilan ekologis adalah bagian dari ajaran Islam. Kerusakan lingkungan yang memperparah intensitas bencana adalah bagian dari kelalaian kolektif manusia terhadap amanah bumi.
Maka, dakwah ekologis harus menjadi bagian penting dari agenda dakwah modern. Para dai dapat mengarahkan umat pada gaya hidup berkelanjutan: menjaga sungai, hutan, pesisir, serta memerangi pola pembangunan yang serakah dan merusak daya dukung alam.
Dalam kondisi darurat, hadir pula kajian kemanusiaan yang melihat bahwa kekuatan bangsa tidak hanya diukur dari kemampuan ekonomi, tetapi dari kedalaman empati dan kesiapan moral membantu sesama.
Solidaritas masyarakat Indonesia di Sumatera membuktikan hal itu: umat berbondong-bondong mendonasikan harta, tenaga, bahkan waktu untuk menemani korban. Di tengah situasi penuh duka, semangat ukhuwah justru semakin nyata.
Kita pun dengan diam diam berkaca, bahwa bencana Sumatera bukan sekadar tragedi, tetapi momentum kebangkitan nilai. Kita belajar bahwa dakwah harus hadir di tengah luka, membimbing masyarakat menuju pemulihan spiritual, sosial, dan ekologis.
Indonesia hanya dapat bangkit sebagai bangsa besar jika pembangunan digerakkan oleh hati yang beriman dan kepedulian yang kuat.
Karena itu, mari memperkuat barisan kebaikan dengan mendukung Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai), baik dalam bentuk materi maupun non materi, agar dakwah dapat terus menjadi cahaya di tengah cobaan bangsa. (nun/pos)
















