Ustadz Agus Salim Menyalakan Lentera Dakwah dari Pulau Kabetan
DI TENGAH terpaan angin laut dan riak ombak yang membelai Pulau Kabetan, tumbuh perlahan sebuah kisah tentang keberanian dan pengabdian. D...
DI TENGAH terpaan angin laut dan riak ombak yang membelai Pulau Kabetan, tumbuh perlahan sebuah kisah tentang keberanian dan pengabdian.
Di pulau kecil yang terletak di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah itu, seorang dai muda bernama Ustadz Agus Salim menapaki jalan sunyi yang tidak banyak dipilih orang: jalan dakwah di pedalaman.
Agus Salim lahir di Pattiro, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Ia bukan tokoh besar yang muncul di layar televisi atau sering tampil di panggung dakwah perkotaan. Namun, di balik kesederhanaannya tersimpan semangat besar untuk membangun kehidupan masyarakat di wilayah yang kerap dilupakan.
Di saat banyak dai memilih menetap di kota-kota besar dengan segala kemudahan, Agus justru mengambil arah sebaliknya. Ia memilih menyeberangi laut menuju Pulau Kabetan, wilayah yang jauh dari modernisasi, demi menyalakan cahaya ilmu dan iman.
Sejak Maret 2025, bersama istri tercinta, Dewi Sartika, serta dua buah hatinya, Inayah Salsabila (3 tahun) dan Ibrahim Al Hafidz (1 tahun), Agus resmi bertugas sebagai petugas DPC Hidayatullah Kabetan berdasarkan Surat Keputusan dari DPD Hidayatullah Toli-Toli. Keluarga muda ini meninggalkan kenyamanan kota untuk mengabdi dalam sunyi, membawa risalah dakwah ke tempat yang masih tertinggal dari arus pembangunan.
“Kalau bukan kita yang datang ke sini, siapa lagi yang akan menyapa mereka dengan dakwah?” ujar Agus ketika ditanya tentang pilihannya.
Dari Gubuk Kecil di Ujung Pantai
Di sisi barat pantai Pulau Kabetan, Agus menerima amanah sebidang tanah wakaf berukuran 26 x 87 meter dari Hj. Nur Aini Andi Millang, keturunan seorang tuan tanah setempat.
Di atas tanah itu ia membangun sebuah gubuk kayu sederhana berukuran 3 x 3 meter. Gubuk kecil itu bukan sekadar tempat berteduh bagi keluarganya, tetapi menjadi pusat perjuangan dakwah—tempat ia mengajar ngaji, menerima tamu, dan membina masyarakat sekitar.
Di gubuk yang beratap daun rumbia itu pula lahir gagasan besar yang kini mulai menggeliat: pendirian Rumah Quran sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Tahfidz di Pulau Kabetan.
Melalui Rumah Quran itu, Agus menampung anak-anak dari keluarga nelayan dan petani rumput laut untuk belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ia bermimpi suatu hari nanti, dari pulau kecil ini akan lahir generasi Qurani yang membawa cahaya Islam ke seluruh pelosok negeri.
“Anak-anak di sini butuh tempat belajar, bukan hanya membaca Al-Qur’an, tetapi juga memahami makna hidup dari ajaran Islam. Kami ingin mereka punya masa depan yang lebih baik,” katanya.
Dakwah dan Tantangan di Ujung Negeri
Pulau Kabetan adalah gambaran nyata dari banyak wilayah terpencil di Indonesia: indah namun terisolasi. Akses transportasi terbatas, fasilitas pendidikan dan kesehatan minim, serta sumber daya manusia yang belum berkembang. Di tengah kondisi demikian, dakwah menjadi bagian penting dari upaya pembangunan manusia.
Ustadz Agus sadar bahwa dakwah di daerah seperti ini tidak hanya soal ceramah atau pengajaran agama. Dakwah di pedalaman adalah pendidikan kehidupan—mendidik masyarakat agar lebih mandiri, membangun kesadaran akan kebersihan, kedisiplinan, serta tanggung jawab sosial.
“Dakwah di tempat terpencil itu ibarat menanam pohon di tanah kering. Butuh waktu, kesabaran, dan keyakinan. Tapi jika terus dirawat, akan tumbuh akar yang kuat,” ujarnya.
Keberadaan dai seperti Agus adalah penopang pembangunan sumber daya insani bangsa. Di wilayah yang jauh dari pusat ekonomi dan pendidikan, dai menjadi figur panutan dan agen perubahan sosial.
Mereka bukan hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai moral dan keadaban yang menjadi fondasi kemajuan bangsa.
Dalam konteks pembangunan nasional, dakwah di daerah terpencil berperan besar membentuk karakter masyarakat yang tangguh dan berakhlak. Masyarakat yang beriman dan berilmu adalah kunci agar daerah-daerah seperti Pulau Kabetan tidak sekadar menjadi penonton dalam perjalanan Indonesia menuju kemajuan.
Spirit Pengabdian dan Cinta Tanah Air
Apa yang dilakukan Ustadz Agus Salim mencerminkan semangat dakwah yang sejati dengan keberanian untuk meninggalkan kenyamanan demi kemaslahatan. Baginya, dakwah bukan hanya panggilan iman, tetapi juga panggilan kemanusiaan. Di tengah keterbatasan sarana, Ustadz Agus justru menemukan makna perjuangan.
Dari gubuk kayu berukuran 3x3 meter, ia dan keluarganya mengajarkan keteguhan hati kepada masyarakat setempat. Ia membangun bukan dengan materi, tetapi dengan keteladanan dan kesungguhan. Dari sana, sedikit demi sedikit masyarakat mulai tergerak. Anak-anak datang mengaji, para orang tua mulai mengenal pentingnya pendidikan agama bagi keluarga mereka.
Kisah Agus Salim menunjukkan bahwa pembangunan manusia tidak selalu dimulai dari gedung-gedung besar di kota, tetapi bisa tumbuh dari gubuk sederhana di tepi laut. Dakwah yang tulus dapat menjadi benih perubahan sosial, menumbuhkan semangat kerja keras, kejujuran, dan kepedulian antarwarga.
Dakwah di pedalaman juga merupakan investasi moral bangsa. Di tangan para dai seperti Agus, nilai-nilai luhur bangsa ditanamkan kembali di tengah masyarakat yang nyaris terpinggirkan. Inilah kontribusi nyata terhadap cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Kini, dari Pulau Kabetan yang jauh dari gemerlap kota, sinar harapan itu mulai menyala. Rumah Quran yang dibangun dari semangat dan doa menjadi pusat kehidupan baru bagi masyarakat sekitar.
Di tengah suara ombak yang tak pernah berhenti, gema lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar setiap sore, menandai kebangkitan rohani dari sebuah pulau kecil yang dulu sepi.
Perjuangan Ustadz Agus Salim bukan sekadar kisah personal, melainkan simbol kebangkitan moral bangsa dari pelosok nusantara. Ketika banyak orang sibuk mengejar kenyamanan, ia memilih jalan pengabdian.
Dari tangan-tangan sederhana seperti inilah Indonesia membangun peradaban: dimulai dari keikhlasan, disiram dengan doa, dan dipelihara oleh keyakinan bahwa kebaikan sekecil apa pun akan selalu berbuah besar.*/Sarmadani Karani, PosDai

















